BIOGRAFI DOUWES DEKKER
Douwes Dekker
Biodata Douwes Dekker
Nama Lengkap : Dr. Ernest François Eugène
Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)
Tanggal lahir : 8 Oktober 1879, di Pasuruan.
Wafat : 28 Agustus 1950 di Bandung, Jawa Barat.
Nama Orang Tua : Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker (ayah), Louisa Neumann
(ibu)
Saudara : Adeline (1876) dan Julius (1878)
Pekerjaan :Politikus, Wartawan, Aktivis, Penulis
Istri : Clara Charlotte Deije, Johanna P. Mossel, Haroemi Wanasita (Nelly
Kruymel)
Biografi Douwes Dekker
Beliau mempunyai nama lengkap Dr. Ernest
François Eugène Douwes Dekker namun bangsa Indonesia lebih mengenalnya
sebagai Douwes Dekker atau dengan nama Danudirja Setiabudi.
Beliau merupakan orang keturunan Belanda yang memihak pribumi. Beliau
dilahirkan pada tanggal 18 oktober 1879 di Kota Pasuruan yang kala itu masih
dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda.
Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang
berada. ayahnya bernama Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang bekerja
sebagai agen di sebuah bank ternama yang bernama Nederlandsch Indisch
Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang
memiliki darah keturunan Indonesia.
Pendidikan Douwes Dekker
Douwes Dekker diketahui memiliki saudara
berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota
Pasuruan. Tamat dari sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, namun tidak
lama disana, orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia
yang bernama Gymnasium Koning Willem III School.
Selepas lulus dari sana, ia kemudian diterima bekerja
di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Disini, beliau kemudian melihat
bagaimana perlakuan semena-mena yang dialami oleh para pekerja pribumi di kebun
kopi tersebut.
Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes
Dekker kemudian biasa membela para pekerja kebun tersebut yang membuat ia
cenderung dimusuhi oleh para pengawas kebun yang lain.
Hingga membuat ia kemudian berkonflik dengan
managernya yang pada akhirnya Douwes Dekker kemudian dipindahkan ke perkebunan
Tebu.
Ia kemudian tidak lama bekerja disana sebab ia
kembali berkonflik perusahaannya karena masalah pembagian irigasi antara
perkebunan tebu dan para petani padi diwilayah tersebut yang pada akhirnya
membuat ia dipecat dari pekerjaannya.
Berangkat Ke Afrika Selatan
Setelah dipecat dan menjadi seorang
pengangguran, ibunya Louisa Neumann kemudian meninggal dan menyebabkan Douwes
Dekker kemudian depresi.
Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan
kemudian ke Afrika Selatan menerima tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk
ikut berperang dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899 dan Di Afrika
Selatan, ia bahkan sempat menjadi warga negara disana dan membuat saudaranya
yang lain menyusulnya kesana.
Namun Douwes Dekker kemudian ditangkap dan
sempat dipenjara disana. Ia kemudian berkenalan dengan sastrawan India yang
kemudian membuka pendangan Douwes Dekker mengenai perlakuan semena-mena
pemerintahan kolonial Belanda pada masyarakat pribumi.
Douwes Dekker kemudian kembali ke Hindia
Belanda (Indonesia) tahun 1902. Ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di
koran bernama De Locomotief, karena keahliannya dalam membuat laporan mengenai
peperangan.
Tahun 1903, ia kemudian mempersunting seorang
wanita keturunan Jerman-Belanda bernama Clara Charlotte Deije yang memberinya
lima orang anak. Selama menjadi wartawan di koran De Locomotief, ia
banyak mengangkat mengenai kasus kelaparan di wilayah Indramayu.
Tulisan-tulisannya sebagai jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan
pemerintah kolonial.
Saat Douwes Dekker menjadi staf di sebuah majalah
bernama Bataviaasch Nieuwsblad di tahun 1907, tulisan-tulisannya condong
membela bangsa pribumi dan semakin banyak menkritik pemerintah kolonial
Belanda. Salah satu tulisannya yang terkenal yaitu “Hoe kan Holland het
spoedigst zijn koloniën verliezen?” yang berarti “Bagaimana caranya Belanda
dapat kehilangan koloni-koloninya”.
Tindakannya tersebut membuat Douwes Dekker
menjadi target dari inteljen pemerintah kolonial Belanda. Douwes Dekker juga
memberikan tempat tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk berkumpulnya para
kaum pergerakan ketika itu seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo.
Banyak yang menganggap bahwa berkat bantuan
Douwes Dekker, organisasi Budi Utomo sebagai organisasi nasional pertama ketika
itu dapat berdiri.
Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan
kolonial Belanda ketika itu terhadap kaum pribumi terutama di bidang
pemerintahan. Faktanyabanyak posisi-posisi penting di pemerintahan di jabat
oleh orang Belanda dan untuk kaum pribumi sendiri hanya dijadikan sebagai
pegawai rendahan karena faktor pendidikan.
Mendirikan Indische Partij
Melihat hal tersebut, Douwes Dekker kemudian
memberikan sebuah ide mengenai sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang
dijalankan oleh para penduduk pribumi asli.
Idenya tersebut ia sampaikan kepada partai Indische
Bond dan Insulinde yang ketika itu anggota berasal dari kaum pribumi. Disamping
itu ia juga berharap dari idenya tersebut kedua partai tersebut dapat
bergabung. Ide Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat namun hanya
segelintir orang saja yang menyambut idenya tersebut.
Dalam biografi Douwes Dekker diketahui bahwa
pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan
dr. Cipto Mangunkusumo kemudian mendirikan sebuah partai politik yang
berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische Partij.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, partai ini
dapat menghimpun anggota hingga mencapai 5000 orang dan sangat populer
dikalangan pribumi Indonesia.
Berkembang pesatnya Indische Partij sebagai
partai politik nasional pertama membuat pemerintah Belanda kemudian mencurigai
gerak-gerik dari partai ini.
Ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan
bertujuan agar Indonesia dapat merdeka dari tangan Belanda sehingga di tahun
1913, Partai Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Para pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi
Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo yang kemudian dikenal sebagai Tiga
Serangkai akhirnya diasingkan.
Diasingkan ke Eropa
Douwes Dekker kemudian diasingkan ke Eropa.
Selama di Eropa, ia tinggal bersama keluarganya dan melanjutkan pendidikannya
dengan mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss dalam bidang
ekonomi.
Di Swiss, ia sempat terlibat konspirasi dengan
kaum revolusi India dan hingga kemudian ia ditangkat di Hongkong dan kemudian
diadili disana. Di Singapura, pada tahun 1918, ia juga sempat di tahan dan
kemudian dipenjara selama dua tahun.
Aktif di Dunia Jurnalistik
Setelah bebas, ia kemudian kembali ke Hindia
Belanda (Indonesia). Di Indonesia, Douwes Dekker kemudian kembali aktif di
dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum kolonial.
Di saat itu juga, Douwes Dekker kemudian
mendirikan partai baru penerus Indische Partij yang bernama Nationaal Indische
Partij namun partai tersebut tidak mendapat izin dari pemerintahan kolonial
Belanda.
Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat
dalam peristiwa kerusuhan petani perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun
di pengadilan, ia kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia
dituduh menulis hasutan dan melindungi seorang redaktur surat kabar yang
menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Namun setelah di pengadilan kemudian dinyatakan
tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Di tahun yang sama juga, ia
memilih bercerai dengan istrinya yaitu Clara Charlotte Deije.
Banyaknya tuduhan-tuduhan tentang tulisan dan
aktifitasnya dibidang jurnalistik membuat Douwes Dekker kemudian meninggalkan
dunianya tersebut dan kemudian aktif dalam melakukan penulisan buku-bumi semi
ilmiah.
Mendirikan Ksatrian Instituut
Dan atas masukan dari sahabatnya yaitu Suwardi
Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker kemudian terjun di dunia
pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung.
Sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker ini
lebih banyak mengajarkan tentang sejarah dari Indonesia dan juga sejarah dunia
yang ditulis oleh Douwes Dekker sendiri.
Dalam mengelola Ksatrian Instituut, ia banyak
dibantu oleh Johanna Petronella Mossel yang bekerja sebagai seorang guru. Dan
pada akhirnya Douwes Dekker kemudian menikah lagi dengan Johanna Petronella
Mossel namun dari pernikahannya, mereka tidak dkarunia anak.
Pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut ini
dituduh sebagai anti kolonial dan pro terhadap Jepang. Akhirnya tahun 1933,
buku-buku karangan Douwes Dekker banyak disita dan kemudian dibakar oleh
pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga dilarang mengajar dan memasuki masa
penjajahan Jepang, ia tetap dilarang mengajar.
Larangan mengajar membuat Douwes Dekker
kemudian bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Disini, ia
kemudian akrab dengan Mohammad Husni Thamrin.
Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak
orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh sebagai
Komunis.
Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di
tahun 1941 yang juga menyebabkan ia kemudian berpisah dengan istrinya Johanna
Petronella Mossel yang memilih untuk menikah lagi dengan seorang pribumi
bernama Djafar Kartodiredjo.
Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp
‘Jodensavanne’ yang sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut,
kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatikan bahkan ketika ia berumur 60 tahun,
ia sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan.
Kembali ke Indonesia
Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker
kemudian dikirim ke Belanda tahun 1946. Disana ia bertemu dengan seorang
perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian menemaninya
ke Indonesia.
Ia tiba pada tanggal 2 januari 1947 di
Yogyakarta dan sempat mengganti namanya untuk menghindari intelijen. Di tahun
ittu juga ia menikah dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian
dikenal dengan nama Haroemi Wanasita setelah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya
telah menikah lagi.
Menteri di Kabinet Sjahrir III
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan,
Douwes Dekker kemudian mengisi posisi penting sebagai menteri negara di kabinet
Sjahrir III meskipun hanya 9 bulan saja.
Douwes Dekker juga sempat menjadi delegasi
negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik dan kepala
seksi penulisan sejarah yang berada dibawah Kementrian Penerangan ketika itu.
Tanggal 21 Desember 1948 ketika agresi militer
Belanda terhadap Indonesia, Douwes Dekker ditangkap oleh Belanda dan kemudian
di interogasi dan dikirim ke Jakarta.
Namun karena kondisi fisiknya yang sudah renta
dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik, Douwes Dekker kemudian
dibebaskan dan ia kemudian tinggal di Bandung di wilayah bernama Lembangweg.
Ia kemudian aktif kembali di dunia pendidikan
di Ksatriaan Instituut yang pernah ia dirikan dan kegiatannya adalah menyusun
autobiografi dirinya dan juga ia banyak merevisi buku-buku sejarah yang pernah
ia tulis.
Douwes Dekker Wafat
Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker
akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, namun di batu nisan makamnya tertulis
ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya yag
lebih dikenal sebagai ‘Setiabudi’ diabadikan sebagai nama jalan di Bandung dan
kemudian nama tempat di wilayah Jakarta.
Dan pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno pada tanggal 9 november 1961 mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 mengenai penetapan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi sebagai Pahlawan Nasional.
Terimakasi kk
BalasHapusReferensi bagus buat tugas ni